Rencana Kenaikan Harga LPG 12 Kg

Rencana kenaikan harga LPG 12 kg telah menjadi perbincangan hangat selama beberapa bulan terakhir ini. Kenaikan harga LPG 12 kg dirasa perlu oleh PERTAMINA karena selama ini bisnis LPG 12 kg telah membuat pertamina mengalami kerugian yang cukup besar yaitu sekitar 17,59 triliun selama periode 2008-2012. Tanpa adanya kenaikan harga, maka pada tahun 2013 ini diperkirakan pertamina harus kembali tekor sebesar 5 triliun dengan asumsi bahwa penjualan elpiji 12 kg tahun 2013 mencapai 910.721 metrik ton (sumber: http://www.investor.co.id/energy/kenaikan-harga-lpg-12-kg-masih-dikaji/56200). Pertamina berencana menaikkan harga jual LPG 12 kilogram pada pertengahan Maret 2013. Besaran kenaikan yang diusulkan Pertamina adalah Rp 25.400 per tabung LPG 12 kilogram. Harga LPG 12 kilogram dari Pertamina saat ini Rp 70.200 per tabung akan naik menjadi Rp 95.600 per tabung (sumber:http://www.investor.co.id/energy/pertamina-akan-naikkan-harga-elpiji-362/55186). Menurut pertamina rencana kenaikan harga LPG 12 kg beserta besarnya juga telah mendapat persetujuan RUPS pertamina. Jadi, sekarang tinggal menunggu keputusan dari pemerintah khususnya Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan.
Banyak pertimbangan yang harus dipikikan pemerintah mengenai rencana kenaikan LPG, tidak hanya dari segi sebagai upaya penyelamatan pertamina dari kerugian yang semakin besar dari tahun ke tahun, namun juga dari segi sosial dan politis.

Jika kita melihat dari segi kerugian yang dialami pertamina, memang ada benarnya rencana ini. Kerugian Pertamina terus meningkat akibat biaya produksi yang juga terus naik. Pertamina terakhir kali menaikkan harga elpiji 12 kg pada Oktober 2009 sebesar 100 rupiah per kg dari sebelumnya 5.750 rupiah menjadi 5.850 rupiah per kg. Sementara, biaya produksi elpiji terus mengalami kenaikan dari sebelumnya pada 2009 hanya sekitar 7.000 menjadi 10.064 rupiah per kg. Dengan biaya produksi 10.064 rupiah per kg dan harga jual ke agen hanya 4.912 rupiah per kg, maka ada selisih 5.152 rupiah per kg yang mesti ditanggung Pertamina. Inilah yang menjadi penyebab utama kerugian pertamina. Apalagi pertamina menilai, konsumen dari LPG 12 kg adalah mereka yang mampu atau kalangan menengah ke atas karena masyarakat menengah ke bawah sudah disediakan LPG 3 kg. Selain itu, kenaikan harga lpg juga berdampak positif bagi masyarakat agar mereka lebih mandiri.
Pada dasarnya, Kemenkeu menilai bahwa pengajuan kenaikan harga LPG oleh pertamina adalah langkah yang benar karena sebagai badan usaha, tidak seharusnya pertamina menjual harga barang nonsubsidi di bawah biaya produksi, hal ini bisa menjadi temuan BPK. Namun, keputusan menaikkan harga LPG adalah permasalahan yang cukup sulit mengingat akan memberikan dampak besar bagi masyarakat.

Pertama, masalah yang dikhawatirkan muncul adalah terjadinya inflasi. Saat harga LPG naik, maka kemungkinan akan mempengaruhi naiknya harga barang lain misalnya, kebutuhan pokok/makanan. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, inflasi merupakan kemerosotan nilai uang (kertas) karena banyaknya dan cepatnya uang yang beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang. Sedangkan menurut kamus lengkap ekonomi disebutkan bahwa inflasi merupakan suatu peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian yang berlangsung terus-menerus dan berdampak kepada yang lain.

Kedua, semakin meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena masyarakat merasa bahwa kebijakan menaikkan harga barang adalah kebijakan yang tidak pro rakyat. Terlebih banyaknya kasus korupsi meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Ketiga, permasalahan yang cukup rawan adalah kriminalitas baik itu meningkatnya tindakan pengoplosan maupun penimbunan. Selama ini, pengoplosan cukup mudah dilakukan karena kurangnya sistem pengawasan oleh pertamina. Sebenarnya standarisasi yang dilakukan oleh pemerintah cukup baik, tetapi dalam pelaksanaanya masih banyak kekurangan. Seperti contoh di saat LPG sudah masuk ke distributor, para konsumen tidak dapat mengetahui apakah LPG yang mereka konsumsi asli atau oplosan karena segel asli dari LPG pun telah diperjualbelikan oleh oknum pertamina. Hal ini menunjukan bahwa Pertamina masih sangat kurang dalam hal standarisasi dan control system.

Permasalahan keempat adalah terjadinya spekulasi. Sejak tahun 2012, isu mengenai kenaikan LPG 12 kg sudah muncul di berbagai media massa. Akibat terblow up media massa, isu ini juga semakin memanas. Akibatnya, sebelum resmi dinaikkan oleh pemerintah, terjadi spekulasi di beberapa daerah di Indonesia, seperti contoh kasus di Jambi. Disini pemerintah seharusnya memberikan keputusan secara cepat dan tepat, agar tidak merugikan masyarakat kecil tentunya.
Selain dampak-dampak di atas, permasalahan juga diperparah oleh kurangnya koordinasi antara pemerintah dan pertamina, sehingga rencana ini membuat masyarakat terutama investor menjadi bingung dalam pengambilan keputusan.

Untuk menyikapi dampak-dampak yang mungkin akan terjadi apabila kenaikan LPG 12 kg resmi disetujui pemerintah, terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan. Tentu saja solusi ini juga tidak hanya dilakukan pertamina namun juga bersama-sama dengan pemerintah serta masyarakat.
Dalam hal terjadinya inflasi, pertamina dapat melakukan masa uji coba kenaikan LPG 12 kg. Masa uji coba yang dimaksut ialah dalam jangka pendek / selama 3 bulan. Masa uji coba ini bertujuan untuk mengukur tingkat inflasi. Memang banyak kalangan ekonom dan juga pertamina sendiri menilai bahwa inflasi memang akan terjadi sebagai akibat dari kenaikan harga, namun besarnya tidak akan signifikan. Namun kita harus bersiap menghadapi hal terburuk yaitu jika ternyata realiatanya saat harga LPG sudah naik, dalam jangka waktu tertentu misalnya 3 bulan, kita melihat bagaimanakan tingkat inflasinya dan ternyata cukup besar, pertamina harus bersedia untuk menurunkan harga LPG 12 kg.

Untuk meminimalisir tigkat kriminalitas, pertamina juga harus lebih mengoptimalkan sistem standarisasi dan melakukan multikontrol terhadap distributor terkait. Dalam hal ini bukan hanya stakeholder saja melainkan seluruh masyarakat ikut berpartisipasi mengawasi terkait kriminalitas yang mungkin terjadi.

Jika ternyata pada akhirnya, kenaikan harga LPG 12 kg tidak disetujui pemerintah, maka pertamina dan pemerintah juga harus bekerja keras mencari cara lain untuk menutup kerugian pertamina, seperti melakukan subsidi silang. Karena akibat kerugian yang dialami pertamina, akan menghambat kinerja pertamina sendiri. Jika cara yang hanya bisa dilakukan hanya dengan menggunakan uang APBN, hal ini akan memperburuk kondisi keuangan negara karena bisa mengalami defisit, selama ini pengeluaran terbesar pemerintah terletak pada pemberian subsidi untuk BBM, kita bayangkan saja jika ditambah lagi dengan pengeluaran untuk menutup kerugian, maka pembiayaan untuk infrastruktur, pendidikan dan kesehatan masyrakat juga bisa terhambat.

Terlepas dari kondisi defisit yang akan terjadi, tidak menaikkan harga LPG 12 kg juga berdampak buruk bagi masyarakat. Kesannya memang pemerintah pro rakyat, namun di balik itu, pemerintah sama saja dengan selalu memanjakan masyarakat yang kemudian berakibat pada ketidakmandirian masyarakat. Jika masyarakat terus berada pada comfort zone, maka mereka tidak akan terdorong untuk melakukan sesuatu yang lebih misalnya meningkatkan inovasi mencari dan mengelola sumber daya alternatif lain.

sumber: http://bemfeb.ub.ac.id/

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini